Sistem Nilai Tukar Tetap
(Absolutely Fixed Exchange Rate Regime)
Pada awal sistem moneter internasional, sistem nilai tukar tetap harus dijamin dengan cadangan emas yang dimiliki oleh suatu negara. Penjaminan mata uang tersebut dimaksudkan agar pemegang mata uang merasa terjamin memegang uang yang dimiliki. Pada perkembangan terakhir, tidak ada kewajiban untuk menjamin jumlah uang beredar dengan cadangan emas negara, seperti pada era gold standard yang diuraikan pada topik sejarah moneter internasional. Pada sistem nilai tukar tetap ini, mata uang suatu negara ditetapkan secara tetap dengan mata uang asing tertentu, misalnya, mata uang rupiah ditetapkan secara tetap terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Dengan penetapan nilai tukar secara tetap, terdapat kemungkinan nilai tukar yang ditetapkan terlalu tinggi (overvalued) atau terlalu rendah (under-valued) dari nilai sebenarnya. Kondisi mata uang suatu negara yang terlalu tinggi dapat dilihat pada kurs K1 pada gambar .
Dalam kondisi ini, dimisalkan nilai tukar yang ditetapkan suatu negara adalah K0, tetapi dalam perkembangannya terdapat peningkatan permintaan relatif valuta asing terhadap mata uang domestik sehingga harga keseimbangan baru adalah K1. Jika Pemerintah tetap menetapkan kurs pada K0, maka nilai tukar negara tersebut menjadi over-valued karena nilai keseimbangan baru berada pada kurs K1. Sementara itu, kurs yang terlalu rendah dapat dilihat pada kurs K2 pada Gambar . Pada kondisi ini, dimisalkan terjadi peningkatan valuta asing sehingga harga keseimbangan baru kurs menjadi K2. Jika Pemerintah masih menetapkan kurs pada K0 maka kurs negara tersebut menjadi under-valued. Setelah era sistem Bretton Woods, banyak negara meninggalkan sistem nilai tukar tetap sehingga sebagian kecil negara yang menerapkan sistem ini. Terdapat dua penyebab utama suatu negara meninggalkan sistem ini.
Pertama, dengan menerapkan sistem nilai tukar tetap, maka nilai tukar mata uang
domestik akan dapat lebih mahal dibandingkan dengan nilai sebenarnya.
Kondisi ini dapat mengakibatkan barang-barang ekspor suatu negara lebih
mahal di luar negeri dan akan mengurangi daya kompetisi dan selanjutnya
akan menurunkan volume ekspor. Di sisi impor, nilai tukar yang over-valued mengakibatkan harga barang impor menjadi lebih murah dan impor dapat meningkat. Secara keseluruhan nilai tukar yang over-valued akan memperburuk neraca perdagangan suatu negara.
Kedua, ketidakcukupan cadangan
devisa untuk mempertahankan sistem ini. Negara–negara yang mempunyai
cadangan devisa sedikit akan rentan terhadap serangan nilai tukar karena
negara tidak mempunyai cadangan devisa yang cukup untuk intervensi ke
pasar valas dalam mempertahankan nilai tukar. Sementara itu, masih
terdapatnya beberapa negara yang menggunakan sistem nilai tukar tetap
disebabkan sistem nilai tukar ini dapat digunakan sebagai jangkar
nominal (nominal anchor).
Jangkar nominal dimaksudkan dalam pengertian di sini adalah nilai tukar
tetap dapat digunakan sebagai alat pengendalian inflasi. Depresiasi
nilai tukar akan dapat mendorong terjadinya inflasi. Dengan dipatoknya
nilai tukar, maka harga barang impor juga relatif tetap sehingga inflasi
yang berasal dari barang impor dapat dikendalikan. Dalam rangka
menjamin kesuksesan kebijakan nilai tukar tetap, kebijakan ini umumnya
diimbangi dengan sistem devisa terkontrol. Dengan pengontrolan devisa,
maka ruang gerak pelaku pasar untuk menyerang nilai tukar dapat
dibatasi.
Kelebihan menggunakan sistem nilai tukar tetap :
- Terbatasnya ruang gerak untuk berspekulasi.
- Mampu memberikan kepastian mengenai nilai tukar
Kekurangan menggunakan sistem nilai tukar tetap :
- Kurangnya fleksibilitas mata uang jika terjadi perubahan-perubahan dalam pasar internasional.
- Otoritas moneter harus memiliki cukup dana untuk menjaga kestabilan nilai tukar mata uangnya.
- Pemerintah harus memiliki cadangan devisa yang besar untuk berjaga-jaga jika dibutuhkan untuk melakukan intervensi pasar.
Referensi :
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar